Sederhana itu Perlu

Menarik. Obrolan seorang penulis beberapa waktu lalu tentang pentingnya kesederhanaan bahasa dalam media. Sudah 25 tahun ia malang melintang di dunia tulis-menulis. Kesederhanaan berbahasa dalam menulis menurutnya adalah kunci pengetahuan yang mampu membongkar kesadaran publik.


Selama ini, menurutnya, media berperan penting dalam memberikan panduan informasi bermutu bagi para khalayak pembaca maupun pemirsa. Tapi apa yang terjadi, media justru berperilaku elit dalam berbahasa. Istilah-istilah sulit, akademis, politis, tak jelas, dimasuk-masukkan dalam berita harian. "Orang pasar hanya mengerti istilah 'makan', tapi kenapa media sering sekali pakai kata konsumsi, aneh?" ujarnya.

Ia mulai memeragakan beberapa buah tulisan produksi media massa cetak, dan menghitung pemakaian istilah-istilah rumit yang ia maksud. Benar saja, dalam satu paragraf tulisan yang terdiri dari 50 kata, sepertiganya adalah kata-kata yang rumit. apa sebenarnya maksud para pewarta itu menggunakan istilah-istilah rumit?

"Mungkin ingin dianggap pintar karena berhasil menguasai istilah-istilah asing, baru. Orang merasa lebih menjadi sosok cerdik cendekia saat menggunakan istilah-istilah akademis dalam sebuah tulisan. Lebih keren", tuturnya. Namun apa yang terjadi setelah itu? Pemakaian bahasa yang rumit dalam media, telah menciptakan jarak sosial antara masyarakat dan pengambil kebijakan. Tak hanya media, tapi seluruh elemen kelas menengah terdidik telah terjangkit istilah-istilah rumit.

Bagaimana proses pendidikan sipil bisa maju jika ujung tombak pengetahuan kebingungan memilih istilah-istilah keren untuk diajarkan? Artinya di dalam penamaan, pengistilahan, media membedakan sebuah istilah sesuai jenis, fungsi, dan status sosial, misalnya istilah maling koruptor. Media menamai Gayus dan teman-temannya sebagai koruptor, namun sangat berbeda ketika mengistilahkan orang di jalanan yang harus mencuri karena belum makan berhari-hari. Mereka menyebutnya perampok, begal, garong, preman jalanan dan seterusnya. Koruptor tetap koruptor, yang tak lagi jelas apa bentuk kejahatannya.

Sikap elit dalam berbahasa sangat berbahaya, membahayakan banyak orang. Misalnya krisis ekonomi 1998, soal hutang negara yang harus dibayar sebesar 700 triiyun kepada swasta, artinya rakyat yang ikut menanggung. 700 triliyun setara dengan APBN satu tahun, seharusnya sudah terjadi revolusi. Tapi kenapa tak terjadi? Karena istilah perampokan uang negara itu diistilahkan dengan istilah keren Obligasi dan Obligor. Orang pasar tak tahu istilah itu. Orang pasar hanya tahu soal tukang kemplang, pencuri, copet, rampok, dan semua hal yang biasa terjadi di pasar.  

Menulis sederhana itu perlu. Perlu untuk mengatasi kebobrokan sosial, keangkuhan rejim, dan kemalasan-kemalasan para pengurus publik. Mungkin selain lomba penulisan kreatif, perlu juga memikirkan untuk membuat lomba menulis sederhana. Kesederhanaan berbahasa juga menunjukkan kepribadian bahasa itu sendiri. Karena bahasa yang berkepribadian adalah bahasa yang digunakan sebagai sikap dari akal sehat atas pilihan-pilihan yang diambil. [] dit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar