Doa Kampung tanpa Halaman


Pulang kampung seharusnya menyenangkan. Ritual tahunan ini seharusnya berlangsung gembira, bertemu sanak saudara, keluarga dekat, keluarga jauh, tetangga, teman lama, teman baru, mendengar macam-macam cerita seru. Mengunjungi punden tempat masing-masing kita dilahirkan, mestinya membuat perasaan haru, menggugah rasa peduli antarsesama. Seharusnya seperti itu.

Pengalaman semacam itu pernah membekas sekitar sepuluh atau limabelas tahun lalu. Sekarang? Sawah jadi lahan parkir, “... town square”, pasar senggol tradisional kian dikomersilkan, alun-alun nyaris dikarciskan, lereng-lereng gunung ditukar guling dengan proyek sirkuit balap motor, dan sebentar lagi tak ada warna hijau gunung yang mengelilingi kota kecil ini. Gedung- gedung pusat perbelanjaan, vil-vila mentereng, bangunan-bangunan tempat hiburan yang angkuh mulai mengambil alih seluruh ingatan masa kecil tentang kampung halaman.
Sebuah rejim baru telah merampas halaman kampungku. Menelanjangi tiap jengkal tanah tempat bermainku dulu. Mereka berulang-ulang menancapkan pasak, menegakkan tiang pancang bangunan di atas perihnya rasa lapar saudara-saudaraku yang tersungkur di pojok gubuknya yang lusuh. Jika ini wabah, segeralah berlalu. Jika ini karma, tunjukkan bagaimana cara kami menebusnya. Jika ini penindasan, maka kami akan melawanmu sampai titik darah penghabisan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar