Limabelas Ribu


Perempuan berjilbab itu terlihat sangat antusias melayani pelanggannya di siang yang panas ini. Keringat tak henti-hentinya menitik dari leher dan bawah kuping. Sesekali terpaksa kuseka cairan asin itu karena mengganggu.

            “Jadi semua berapa?”
            “Em, print semua tadi habis enam setengah?”
            Tinggal satu langkah lagi, jasa pengiriman dokumen. Letaknya tak jauh dari rental, jalan kaki lima menit sampai.
            Seorang perempuan terlihat melongok di balik meja front office saat aku mendorong pintu kaca tebal. Pintu itu menutup kembali saat aku berada di dalam. Aneh. Meja itu nampak terlalu tinggi jika ia tetap duduk.             
            “Kalau kirim dokumen ke Jakarta berapa Mbak”
            “Empat belas ribu.”
            Perempuan itu menyodorkan dua lembar kertas berformat, aku tinggal mengisi identitas pengirim dan alamat yang dituju, tak lupa kububuhkan tanda tangan. Lima belas ribu, kembali seribu. Aku pun beranjak meninggalkan tempat itu menuju toko buku di seberang jalan.   
            Benar. Persis seperti penjelasan temanku. Toko buku itu memang menggelar diskon. Kali ini sampai 70 persen. Tim marketing menggeber spanduk besar bertuliskan “KUMAT”, Buku Hemat. Tak perlu menunggu lama, aku langsung menyisir tempat parkir yang disulap pihak pengelola menjadi lapak-lapak ratusan buku murah.
            Detik demi detik berlalu berganti menit. Buku-buku teknis. Soal manajemen, bisnis, komputer, dan IT. Padahal aku berharap lebih dari itu. Ya, setidaknya buku-buku Ilmu Sosial Humaniora didiskon juga dong.
            Eit, sebentar, aku sepertinya mengenali sebuah sampul depan sebuah buku yang pernah kubaca. Dulu. Wajah seorang pemuda dengan sorot mata tajam, alis tebal menggantung bagaikan golok, menandai empunya seorang teguh pendirian. Idealis, mungkin. 
            Yes, I got it. “Sejarah dan Budaya” karya Antonio Gramsci, dibandrol Lima Ribu Rupiah saja. Salah satu karya fenomenal dari tiga karya Gramsci. Hatiku langsung berbunga-bunga. Ini buku murah banget. Mendadak seperti melihat air di padang pasir. Kudekap buku itu, erat, takut jika ada orang lain yang ikut-ikutan tertarik. Kebetulan tinggal satu, dan aku resmi menjadi pengampunya.  
            Tak berhenti di situ. Lapak yang berdekatan dengan buku super murah itu juga kusisir. Dan, yuppy, sebuah kumpulan cerita pendek Martin Aleida “Leontin Dewangga” seharga Sepuluh Ribu Rupiah. Wah, kian bersemangat. Kujelajahi semua buku yang dicecerkan di tempat itu, berharap mendapat buku bermutu lainnya. 
            Setelah cukup lama bergelut dengan tumpukan buku, aku berhenti mencari dan beranjak ke meja kasir. Hmm, jodohku hari ini pada dua buku fantastis itu. Dua buku legendaris. Gramsci seorang pemikir kiri, Marxis, yang melahirkan Prison Notebooks dan teori Hegemoni dalam pengasingan rejim Fasis Italia, sedangkan Aleida seorang korban junta militer Soeharto. Huff ... malam ini bakal begadang.
            Jujur, aku benci mengatakan ini. Diam-diam aku merasa berterimakasih kepada mereka yang telah menggelar pesta diskon. Tapi, sebaliknya aku merasa jengkel, kenapa mesti mendapatkan buku itu dari mereka. Sementara pedagang buku bekas di pinggir jalan tergusur dari tempatnya.
            Sebenarnya aku biasa membeli buku murah, baru atau bekas di pinggir jalan. Itu dulu, kini para pedagang buku yang kumaksud itu telah pergi, digusur, dipindah ke tempat yang lebih baik. Katanya. Pedagang jalanan jelas tak mampu memberikan diskon seperti toko-toko besar. Bahkan di sebuah Mall di Jakarta, persis di lantai bawah, para penjual buku bekas itu ditekan pihak pengelola untuk membeli kios yang sebelumnya mereka dapatkan dengan sewa. Beli? Tigaratus Limapuluh juta untuk satu kavling? Bullshit, sewa saja ngos-ngosan.
            Kini aku ingin berterimakasih, tapi kepada siapa? Mereka? Para penjual yang baik itu? Limabelas Ribu pasti lebih berarti bagi mereka yang ada di pinggir jalan. Aku yakin itu. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar