Mobil
yang kutumpangi berjalan lambat-lambat saat melintasi bukit, perengan
yang papras itu. Sebelah kiri Danau Sentani terpampang megah. Begitu
tenang dan dalam. Rumah-rumah terapung di pinggir danau.
Keramba-keramba ikan di sekitar kediaman penduduk terlihat tak
terawat.
Wilayah
kabupaten sedang berkembang. Sepanjang jalan rumah toko berjajar
memadati pemukiman. Menjelang sore dan malam hari, mama-mama
penjual buah pinang dan ubi bakar tak mau kalah ikut mengais rejeki
di jalanan. Menjajakan buah pinang di atas meja segi empat. Sebuah
lilin, lampu minyak diletakkan di atas meja sebagai pelita.
Pemandangan yang jauh berbeda dengan Kota Jayapura yang lebih
tertata, mapan infrastruktur, fasilitas umum dan sosial.
Masuk
Distrik Nimbokrang. Sungai panjang membelah wilayah pemukiman dan
lahan garap rakyat. Sungai itu warnanya kelabu. Dasarnya keruh akibat
endapan kapur dan panas berkepanjangan. Hanya lumpur yang tersisa.
Seorang
Ondoafi nampak duduk tenang di atas bangku bambu. Dua bangku
yang disusun rendah berhadap-hadapan nyaris menyentuh tanah. Biasanya
warga berkumpul di sana untuk membahas persoalan-persoalan sosial
masyarakat. Seekor anjing hitam mengendus-endus tanah sekitar
kediaman sang perangkat adat.
Kusempatkan
mampir ke kediamannya. Orangnya ramah, sangat ramah. Soal jabatan
adat, nampaknya aku keliru menduga. “Iram
lebih tinggi dari Ondoafi,”
akunya. Perangkat adat biasanya mengurus persoalan hubungan-hubungan
sosial kemasyarakatan. Soal tanah, pernikahan, mungkin juga
ritual-ritual adat.
Biasanya
pemerintah setempat tak bisa langsung main masuk ke kampung membangun
ini itu. Para tetua adat mesti diajak bicara. Putusan mereka konon
menentukan lanjut tidaknya sebuah rencana pembangunan.
Aku
sendiri kurang yakin soal itu. Nyatanya Merauke saat ini sukses rata
menjadi perkebunan padi, rice estate. Lebih
dari dua juta hektar lahan diambil alih oleh 44 perusahaan raksasa.
Pohon-pohon ditebang habis dipotong kecil-kecil dijadikan woodchip
bahan bakar pengganti batu bara. Kapal-kapal tongkang mengangkut
bahan bakar nabati itu ke Cina dan Rusia. Merauke menjadi bagian dari
sebuah rencana besar untuk memenuhi pangan dunia. Begitu kabarnya.
Di
Lembah Griminawa orang kampung, petani masih bebas bekerja. Menanam
palawija, tanaman umur pendek atau tanaman perkebunan. Pun pula
berternak. Sapi, babi, kambing, dan ayam. Hutan mereka masih luas.
Lelaki
bercambang bauk itu mengatakan padaku soal kehidupan di Pulau Jawa.
Tiga tahun lamanya ia pernah merantau di Blitar, Jawa Timur. Setelah
paham situasi di Jawa, soal peluang kerja, pemilikan tanah
petani yang kian menyempit, akhirnya ia memutuskan pulang. Hidup di
kampung merawat kebun dan hutan untuk anak cucu. “Hutan, tanah kami
luas, itu tabanas anak-cucu,” pungkasnya.
Aku
masih belum benar-benar yakin. Mungkin anak cucunya bisa menikmati
luasnya hutan dan gemburnya ladang di Griminawa. Perusahaan besar
masuk ke kampung hanya soal waktu. Tak masalah limapuluh atau seratus
tahun lagi. Mereka sangat sabar menunggu untuk menggali alam
nusantara. Pemerintah jelas setuju. Masyarakat adat mungkin juga
setuju. Tapi, petani kecil dan keluarganya?
#kembalikewaena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar