Titik Balik


Kemarin, seorang teman mengirim pesan singkat, sebuah berita duka: ada kawan yang meninggal dunia. Ya, almarhum pernah menjadi teman satu kantor. Tak lama, karena aku cuma dipekerjakan selama tiga bulan, sebuah proyek penelitian yang sedang memasuki tahap akhir. Saat itu almarhum adalah seorang staf keuangan senior. Seorang perempuan, orang tua tunggal dari seorang anak perempuan usia sekolah dasar.

Orangnya tak banyak bicara. Kalau bicara, ya, yang penting-penting saja. Dia mengaku suka menulis. Cerita ringan-ringan, populer, bahkan sempat mengirim karyanya ke beberapa penerbit. Meski terus ditolak, ia tetap ngotot nulis. Blog, jejaring sosial, apapun, asal masih ada komentar dari orang lain, berarti tulisannya masih dibaca, masih diapresiasi.
Kurasa, tak terlalu banyak bertukar pikiran dengannya. Hanya saat makan siang kami mulai ngobrol soal ini-itu, tulis-menulis, dan seterusnya. Setelah itu masuk lagi ke ruangan masing-masing. Kerja. Pukul lima sore, sang buah hati datang menunggu ibunda selesai menyusun, memilah, dan menjumlah angka-angka. Kadang sampai larut, sampai sang anak matanya lelah nonton film kartun di ruang depan, ibunda belum juga keluar dari ruangan. Tapi tak mengapa, karena tukang bakso, somay, sate padang, atau penjual es krim masih setia lalu-lalang di gang depan kantor. Anak kecil memang suka jajan.
Suatu hari ia melompat kegirangan di hadapanku. Tulisannya jadi buah bibir di sebuah situs jejaring sosial. Sikap keras, kadang bombastis menjadi watak tulisan perempuan itu. “Yang penting dibaca orang, kan kita bangga ada limaratus orang tiba-tiba ribut soal tulisan kita,” kilahnya. Ia mengaku telah ratusan kali ngeblog, tapi tak ada yang mampir baca. Ia pun bertekad mulai detik itu ia akan menulis dan terus menulis, di mana saja, kapan saja.
Seingatku, ia pernah mengometari tulisanku. Katanya, tulisanku temanya terlalu berat, terlalu filsafat. Ia pun menyebut nama-nama orang yang menurutnya jago, punya nama di dunia maya yang kira-kira seiman denganku. Katanya, mereka bakal jadi sainganku. Sebaliknya, aku pun akan menjadi saingan mereka. Tapi menurutnya, tulisan seperti itu susah jualannya. Alasan-alasan pasar selalu ia utamakan dalam berporses kreatif. Ya, sah-sah saja.
Usai masa kontrak, aku berpamitan padanya, semoga pekerjaannya lancar. Dahinya berkerut, bibirnya mengatup lalu mengurai senyum kecut. Ia agak terkejut, karena ia mengira aku setahun lagi bertahan di kantornya. Ia memegang prinsip, orang yang punya kemampuan tak akan jadi pengangguran. Lama ia memendam keinginan untuk pindah kerja. “Cuma masalah waktu,” ungkapnya.
Mungkin kami bukan teman dekat, bukan apa-apa, sekadar seseorang yang bertemu di jalan kemudian saling bertukar pendapat. Sempat terbersit pertanyaan, siapa nanti yang bakal mengasuh anak sematawayangnya? Seorang teman lain menginformasikan, jika keluarga besar yang akan mengurusnya. Tak ada penyesalan, selain rasa belasungkawa yang tiba-tiba meruak. Tiap orang pasti akan menemui ajal, sekarang, besok, nanti, kapanpun. Kematian sekadar titik balik perubahan, sebuah awal kehidupan, sebuah etika keabadian.
Selamat jalan mbak, kuharap masih ada penerbit yang mau membaca karya-karyamu. Kematian hanya memusnahkan ragamu, bukan karyamu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar