Air
tak kunjung surut. Hujan semalam membuat gang di depan kosan
digenangi air setinggi lutut orang dewasa. Selokan mampat, tak mampu
lagi menampung tumpahan air hujan akhirnya meluber ke jalan. Banjir.
Genangan air nampak menghitam memenuhi mulut gang sampai jauh ke arah
pasar. Semua orang yang nekat melintasinya mesti berbasah-basah,
menjinjing sepatu, sendal, melipat celana panjang sampai dengkul
melintasi aspal yang tenggelam.
Air
nampak bergelombang dan beriak seperti ombak pinggir pantai saat
sepeda, motor, dan mobil melintas, membelah permukaannya. Dinginnya
air tak memupus semangat anak-anak kecil untuk bermain, berendam, dan
berenang. Abai dengan keruhnya genangan, sampah-sampah anorganik,
batako yang mengapung, dan jutaan bakteri yang tak terlihat,
anak-anak itu kian bersemangat, berteriak-teriak kegirangan.
Jalanan
di Jakarta saat musim penghujan terlihat seperti sungai. Kemacetan
terjadi dimana-mana. Sepeda motor nekat melintasi jalan tol
menghindari padatnya jalan. Jalur Trans Jakarta pun menerapkan sistem
buka-tutup.
Para
petugas sibuk memberikan informasi pada calon penumpang jika bis
sedang terjebak macet. Lelaki berseragam itu memberi penjelasan pada
orang-orang yang antri di depan loket. “Naik patas arah Grogol aja,
daripada nunggu di sini kelamaan. Tuh, bapak-bapak sama anaknya dari
sore masih nunggu bis belum datang. Coba tadi mau cari alternatif
kendaraan, kasihan kan anaknya, capek.” Lebatnya hujan, banjir, dan
macet, membuat mayoritas shelter bis tak beroperasi.
Genangan
air hitam di depan kosan masih belum juga mengering. Memang baru
semalam hujan mengguyur tempat ini, tapi air telah berhasil menjebak
siapapun yang hendak berkegiatan. Pedagang air jirigen telah sampai
di depan teras. Ia pun segera mengangkat dua jirigen besar,
memindahkannya ke pikulan dan membawanya masuk ke rumah. Satu jirigen
harganya dua ribu rupiah.
Seorang
lelaki di pinggir gang nampak bingung karena kios rokoknya terbalik
akibat banjir. Beberapa orang yang kebetulan di sana langsung
membantu mengembalikan warung kecil itu ke tempat semula. Di
sebelahnya nampak pedagang nasi goreng bersiap melayani pembeli
pertamanya. Berjualan dengan kaki yang terendam air nampaknya menjadi
hal yang biasa. Satu-persatu pembeli datang. Mie goreng, mie rebus,
menjadi favorit saat dingin air banjir mengepung perkampungan.
Tanpa
terasa malam menjelang. Anak-anak masih bermain di genangan air
kotor. Deru motor memekakkan telinga. Knalpot, busi, karburator yang
terendam air membuat kendaraan bermotor roda dua itu takhluk dan
harus didorong.
Tak
ada makian, keluh kesah, ataupun duka. Mereka menerima air langit ini
dengan lapang dada. Tak ada derita di tempat ini. Semua menunaikan
tujuannya masing-masing tanpa terganggu. Air tetaplah air, meski
menenggelamkan kaki dan merusak perabotan.
“Biasanya
ntar ada yang nyedot, tiap kali banjir juga begini,” jelas lelaki
pemilik warung Padang itu. Hari ini ia tetap membuka warung. Para
pejalan kaki yang kehujanan dan basah kuyup kerap mampir sekadar
memesan kopi panas atau sebungkus nasi rendang. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar