Beberapa waktu
lalu, masyarakat sempat dihebohkan melambungnya harga bawang akibat
ulah importir nakal. Kelangkaan bahan pangan di pasar berdampak
langsung pada kehidupan rakyat kecil. Kebijakan impor bahan pangan
yang kelewat liberal tanpa proteksi, menyebabkan komunitas produsen
pangan berskala kecil kelimpungan, sekarat.
Kran impor yang
dibuka lebar telah menggerus produksi pangan dalam negeri. Petani
sebagai salah satu produsen pangan telah lama tergantung dengan
pasokan sarana produksi impor. Misalnya bibit unggul, pupuk kimia,
pestisida, dan berbagai perangkat pertanian moderen. Akibatnya,
sistem pertanian di Indonesia boros input.
Sedari revolusi
hijau sampai sekarang, petani kenyang dicekoki doktrin pertanian
moderen yang menempatkan mereka sebagai konsumen semata. Metode
pertanian berkelanjutan yang memosisikan petani sebagai ahli kerap
dipandang sebelah mata, meski kenyataannya petani telah berkontribusi
dalam menjaga keberagaman plasmanutfah dan keseimbangan ekosistem.
Coba bayangkan,
jika suatu ketika sumber bahan pangan di dunia menjadi sangat
terbatas akibat alih fungsi lahan dan penurunan keanekaragaman
hayati, apakah uang masih bisa berfungsi sebagai alat tukar? Tentu
sumber pangan akan lebih berharga daripada mata uang manapun.
Meski demikian,
fakta saat ini, seseorang dianggap kaya ataupun miskin ditentukan
oleh faktor pemilikan uang dan akumulasi modal. Sistem ekonomi
moneter menjadi rejim tata niaga dunia dan perbankan sebagai
infrastruktur pendukungnya. Sistem ekonomi uang berbasis pasar bebas
tersebut menjadi alat korporasi dan konglomerasi raksasa dunia untuk
mempengaruhi, bahkan mengambil alih kebijakan politik-ekonomi di
berbagai negara berkembang. Tak terkecuali Indonesia.
Narasi tentang
kekuatan ekonomi global yang mencengkram masa depan pangan di
Indonesia tertuang dalam sebuah buku pengalaman gerakan advokasi
petani. Buku “Bersemi dalam Tekanan Global: Kriminalisasi
Petani, Inisiatif Benih Lokal, dan Uji Materi UU No. 12/1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman (2013)”, mencoba merekam upaya jaringan
advokasi petani pemulia tanaman meretas keadilan di Mahkamah
Konstitusi (MK). Sebuah upaya petani pemulia tanaman untuk mewujudkan
kedaulatan atas benih melalui jalur legal.
Sedari 2004
sampai 2010, belasan petani pemulia tanaman jagung di Kediri Jawa
Timur mengalami kriminalisasi. Mereka dituduh oleh perusahaan benih
setempat telah melakukan pemalsuan merek dagang. Meski tak terbukti,
petani tetap dijerat dengan pasal-pasal UU No. 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (UU SBT). Undang-undang yang seharusnya memberikan
perlindungan kepada petani, nyatanya digunakan oleh kepentingan
industri untuk memenjarakan mereka.
Tak hanya
petani jagung di Kediri, pada prinsipnya, wilayah pertanian yang
terdapat perusahaan benih berpotensi mengkriminalkan petani. Hal ini
tentu tak dapat dibiarkan. Petani memiliki hak membudidayakan tanaman
yang mereka warisi secara turun-temurun. Sebuah tradisi agraris yang
mereka jalani sejak lama, mendahului konsep negara moderen dan
prinsip-prinsip hak atas kekayaan intelektual.
Benih dan
plasmanutfah adalah sumberdaya publik yang mesti dikelola pemerintah
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sesuai amanat konstitusi.
Praktiknya, korporasi raksasa dunia yang berwujud
perusahaan-perusahaan benih, telah mengambil alih barang milik publik
itu untuk diprivatisasi dan dikomersilkan. Korporasi mengambil hak
petani yang telah dimiliki sejak lama, kemudian memaksa petani untuk
terus tergantung dengan membeli produk-produk pabrikan.
Pada kasus
tanaman padi, benih hibrida yang digadang-gadang pemerintah dan
perusahaan mampu menjawab kebutuhan pangan dalam negeri, ternyata
hanya pepesan kosong. Kualitas benih-benih hibrida nyatanya tak
setangguh sewaktu didemonstrasikan. Sekali terserang hama, tanaman
langsung gagal panen. Petani jelas banyak dirugikan, karena tak
mendapatkan ganti rugi atau jaminan penghasilan saat gagal panen.
Sebenarnya,
petani mulai melakukan seleksi benih mereka sendiri demi menemukan
varietas idaman yang sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah.
Inisiatif benih lokal menjadi titik tolak petani untuk mewujudkan
kedaulatan atas benih. Tak lagi tergantung benih impor ataupun benih
hibrida yang boros pemakaian pupuk kimia dan pestisida. Selain tak
sesuai prinsip-prinsip pertanian ekologis, tanaman yang terpapar zat
kimia akan menimbulkan krisis ekologi dan mengancam kesehatan
manusia.
Saat
benih-benih varietas lokal mulai digunakan di berbagai daerah,
perlahan-lahan petani mulai merasakan hasilnya. Selain bisa
menentukan usia varietas yang mereka muliakan sendiri, benih kreasi
petani mudah beradaptasi dengan perubahan iklim dan relatif tahan
serangan hama.
Agaknya upaya
petani kecil berlahan sempit di Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan
atas benih masih panjang. Selama beberapa pasal UU SBT belum
dinyatakan tak berkekuatan hukum oleh MK, terutama pasal 5, 6, 9, 12,
dan 60, maka aktifitas petani memuliakan tanaman masih terancam jerat
tindak pidana.
Bahkan, kontrol
atas benih yang dilakukan pemerintah berdampak pada diskriminasi
terhadap petani, karena hanya perusahaan dan peneliti-peneliti
profesional saja yang dianggap mampu melakukan proses pemuliaan
tanaman. Petani terpaksa membeli benih yang belum tentu sesuai dengan
kondisi lahan mereka dengan harga yang jauh lebih mahal. Di sisi
lain, perusahaan terus mendapatkan keuntungan karena mendapatkan hak
paten.
Tarik-menarik
hak pemuliaan varietas antara petani versus perusahaan benih ini akan
segera usai jika MK memutuskan mengabulkan permohonan uji materi UU
SBT jaringan advokasi petani pemulia tanaman. Pemohon meliputi 10
lembaga swadaya masyarakat dan dua orang petani pemulia tanaman. Jika
mengikuti proses persidangan di MK (hal. 95), para pembaca mungkin
bisa memperoleh gambaran sederhana tentang keberpihakan negara pada
wong cilik.
Persoalan
pangan dan perlindungan terhadap nasib petani ke depan nampaknya
menjadi agenda serius bagi pemerintah. Di dalam rancangan
undang-undang perlindungan dan pemberdayaan petani dianggap tak
menyelesaikan akar masalah agraria di Indonesia. RUU tersebut
dianggap tidak jelas mendefinisikan
petani, simpang-siur dalam menentukan batasan kawasan lahan
pertanian, serta tak memungkasi persoalan redistribusi lahan. Saat
ini perjuangan kedaulatan atas benih menjadi langkah awal.
Selanjutnya akses petani terhadap lahan harus menjadi prioritas, agar
terdapat jaminan ketersediaan pangan di masa krisis. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar