Beberapa waktu
yang lalu dua orang temanku bercerita, mereka mau pindah pekerjaan.
Yang satu ingin pindah karena tak kerasan lagi dengan sistem kerja
industri dan rutinitas kerja, seorang lagi mengaku mendapat telepon
dari seorang rekan, sebuah ajakan bergabung di media cetak baru di
ibu kota. Rencananya, keduanya akan bergabung dalam media massa yang
sama. Sekilas tak ada yang perlu dipersoalkan dari peristiwa ganti
pekerjaan itu. Hanya sebuah tawaran kesempatan yang biasa terjadi
dari perjalanan hidup seseorang.
Belakangan
kegundahan melanda keduanya lantaran media massa yang hendak mereka
masuki itu berafiliasi dengan salah satu partai politik baru yang
siap berkompetisi di pemilihan umum 2014 nanti. Keduanya memiliki
kegelisahan yang nyaris sama. Mereka berpikir jika koran atau majalah
yang baik itu mesti menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme,
keseimbangan isi tanpa tendensi politik.
Akhirnya, jika
memang ada media massa yang ternyata mendukung salah satu kekuatan
politik bahkan sebuah partai politik tertentu, maka media massa itu
tak lagi netral, sarat kepentingan politik, tak murni, berpihak,
mungkin bisa ditambahkan satu istilah yang pas: berdosa. Memutuskan
bergabung dengan media massa milik parpol tertentu bisa jadi sebuah
keputusan yang sembrono. Nah!
Diam-diam aku
berpikir, sejak kapan konsepsi tulis-menulis yang terangkum dalam
teknik jurnalistik itu terbelah menjadi “good journalism”
dan “bad journalism”? Seolah-olah unsur politik itu
berdiri di luar garis batas jangkauan sebuah media massa, tak relevan
dengan sifat alamiah realitas yang hendak dituangkan dalam tiap
narasi jurnalistik. Anasir-anasir good journalism dengan
leluasa meringkus tiap-tiap sikap berpolitik media massa dalam
kutukan etika tabu partisan, layaknya penyakit sawan yang mesti
disembuhkan. Aneh.
Padahal, dalam
sejarah peran pers di Indonesia, terutama di erah orde lama,
orientasi politik menyandang status “wajib” bagi tiap media massa
sesuai iman ideologi masing-masing. Untuk mendirikan sebuah
perusahaan media saat itu, mesti jelas afiliasi partai politiknya,
nota bene basis konstituen pembacanya. Tak heran jika media massa
seperti Kompas di masa lalu mesti mau berada di bawah ampuan Partai
Katolik demi membuktikan bahwa produk mereka memang dibutuhkan
rakyat.
Singkatnya
sikap politik media massa mesti berbanding lurus dengan sikap partai
politik atau sikap ideologis konstituen. Tak heran jika di masa itu
ruang publik demikian riuh rendah dengan pertarungan wacana ideologis
yang mendidik kematangan dan kedewasaan politik warga negara.
Kira-kira
catatannya begini: “media massa di era orde lama berfungsi
memoderasi pesan komunikan sebagai materi pendidikan warga/sipil.”
Konotasinya, pers menjadi semacam corong parpol.
Sampai era
orde baru, industri media massa dibatasi pemilikan modalnya, lantaran
penguasa sadar akan peran moderasi pesan politik pers sangat efektif
untuk memertahankan stabilitas nasional. Soeharto menganggap
Liberalisasi modal dalam bisnis media massa hanya akan mengganggu
keutuhan bangsa, dan tak Pancasilais. Di sisi lain pers tak lagi
bebas berekspresi. Kasihan ya.
Saat reformasi
tiba, kebebasan pers dibuka, modal asing boleh masuk. Ribuan
perusahaan media massa tumbuh menjamur, alam ekonomi menyeleksinya
sampai hanya beberapa saja yang memang benar-benar mampu bertahan dan
berkembang menjadi raksasa.
Pers bebas
berekspresi, industri pers terbuka terhadap modal asing. Modal lokal,
nasional, atau asing tak jadi soal, karena pasar begitu terbuka dan
menjanjikan. Jumlah penduduk yang besar dan sikap dasar konsumtif
yang tertanam selama puluhan tahun, selalu menarik minat investasi
dan menjadi motivasi produksi. Industri apapun di dunia jelas akan
melakukan segala cara demi menguasai pasar Indonesia yang
menjanjikan.
Faktor
afiliasi politik tak lagi dominan dalam kancah jurnalisme.
Pesan-pesan politik dimediasi jaringan partai politik, meski masih
ada beberapa media massa yang masih mendukung kepentingan golongan
tertentu. Namun tren afiliasi politik pers sudah lama tergantikan
dengan tren teknologi informasi yang diadopsi industri media massa.
Kini jelas,
meminjam istilah Pak Beye “terang benderang” terbukalah maksud
good journalism. Jurnalisme
yang baik itu adalah paham jurnalistik yang bersumpah setia pada
industri media massa. Ia tak lagi harus berfungsi memoderasi pesan
komunikan sebagaimana jurnalisme berpolitik/partisan era orde lama,
dengan asumsi masyarakat Indonesia sudah melek politik, terdidik
dengan baik, dan demokratis. Apa iya?
Lantas
apa yang hendak dimoderasi oleh media massa yang tabu berpolitik itu?
Iman industri nampaknya harus dibuktikan dengan kepatuhan teknik
jurnalisme yang aktif mendorong laju kapitalitasi industri media
massa. Ya, industri media massa membutuhkan teknik jurnalisme yang
bisa memoderasi kepentingan ekonomi, itulah hakikat good
journalism.
Pendidikan
sipil tak lagi menjadi mandat fungsional organisasi pers. Pers tak
perlu repot-repot meminta legitimasi politik hanya untuk mencetak
koran atau menyiarkan berita televisi, apalagi menentukan jumlah
iklan yang masuk, yang etis dan yang tidak. Tak ada istilah basis
konstituen pembaca. Di hadapan industri pers, manusia, warga, atau
khalayak hanya nampak sebagai satuan konsumen, statistik distribusi,
dan penikmat produk semata. Jurnalisme yang berpolitik digantikan
dengan rejim iklan, rating, share audience
yang menjanjikan kelangsungan hidup.
Kembali ke nasib dua orang kawan tadi.
Nampaknya
keduanya terkesan dengan ocehan ini. Akhirnya mereka memutuskan
bergabung dengan media massa milik salah satu parpol itu. Saya pun
tak mengatakan jika jurnalisme berpolitik itu sebagai kebenaran
tunggal, tapi sekadar menggaris bawahi bahwa tak ada yang netral
dalam konsepsi good journalism,
sekalipun dikerudungi nilai-nilai profesionalisme dan prinsip
keberimbangan isi. Semua punya tujuan sesuai derajat kepentingan
masing-masing.
Saya hanya menegaskan, jika politik dan ekonomi itu memang dua hal
yang tak bisa dipisah-pisahkan seenaknya jika berkaitan dengan nasib
anak manusia. Sementara ini soal politik selalu dibayangkan menjadi
milik sistem, struktur, negara, dan organisasi, secara evolutif
menjauhi urusan dan pilihan hidup manusia. Seolah tiap-tiap proses
pergulatan hidup orang tak ada kaitannya dengan urusan politik.
Cerita dua orang kawan itu merupakan potret kecil betapa manusia tak
memiliki daya menentukan pilihan, tergerus dalam balutan sistem –yang
katanya beradab– yang disebut organisasi perusahaan dan industri.
Selama
kerja tulis-menulis masih dilakukan manusia, maka masalah dan apapun
solusi yang dibawa –entah itu ekonomi, politik, atau apapun– akan
berpulang ke konsekuensi tuntutan eksistensial seseorang. Gurauan
warung kopi seperti “mau kaya kok jadi wartawan?” akan muncul
sebagai pertanyaan serius di hadapan industri media massa. Bahwa
industri media massa setiap waktu selalu memerlukan ekspansi pasar
gila-gilaan untuk membudayakan orang berbelanja dua ribu perak di
pagi hari, sekadar melirik iklan halaman depan surat kabar. Industri
media massa sejajar dengan industri lain dalam soal akumulasi modal
kapital. Lantas jurnalisme macam apa yang diagung-agungkan sebagai
good journalism? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar