"Si Hati Api, bukan Fireheart!"


Iseng, Sabtu (28/01) lalu menghadiri acara promosi buku-buku fantasi di sebuah toko buku di Depok. Ajang promosi itu menghadirkan beberapa penulis, tiga orang penulis dan satu penerjemah, salah seorang diantaranya nampak penulis senior Djokolelono. Mereka, para penyelenggara kegiatan, hendak menyuguhkan diskusi hangat seputar karya fiksi, dan dunia khayal-menghayal: "Berfantasi Tidak Dilarang".


"Berkhayal, tak ada yang bisa mengajarkan bagaimana caranya," terang Djoko. Ia cukup terkesan dengan karya-karya pengarang muda saat ini. Baginya, beberapa tulisan fiksi, cerpen, dan draf novel, semuanya bagus. Kendati demikian, menurutnya, pengarang sekarang cenderung suka dengan istilah-istilah asing, bahasa Inggris, ketimbang khasanah nusantara. "Mungkin pertimbangan pasar sudah memengaruhi di awal proses kreatif si pengarang," pungkasnya.

Selain itu, salah seorang penulis fiksi dan pencipta Hikayat Vandaria", Ami Raditya, optimis atas kreatifitas anak muda Indonesia. Baginya, karya anak negeri tak kalah dengan produk impor. Saat ini di dunia teknologi digital, banyak anak-anak muda Indonesia yang bekerja paruh waktu untuk perusahaan asing ketimbang membangun industri lokal. Untuk itu, ia dan rekan-rekannya rela menghabiskan waktu dan tenaga untuk terus berkarya mengembangkan proyek Vandaria.

Ami pun sepakat dengan hilangnya rasa bahasa di dalam dunia kepengarangan fiksi. Pengarang fiksi saat ini, menurutnya terlampau terpengaruh oleh permainan online, komik Jepang, yang semuanya tak mengandung istilah-istilah Indonesia. Ia mengambil contoh, salah satu karya peserta yang ditampilkan di layar, berjudul "Fireheart". "Kenapa bukan Si Hati Api, kok harus diterjemahkan jadi Fireheart?"

Lagi-lagi pasar jadi biangkerok. Si penulis berdalih jika pasarlah yang membuatnya memilih judul tokoh dan cerita dengan istilah atau bahasa asing. Acara yang dimulai sedari jam dua siang, berakhir dengan tepuk tangan meriah. Pengunjung toko buku nampak tertarik dengan acara itu. Kendati demikian, masih ada satu pertanyaan yang tersisa.

Jika memang karya fiksi demikian digandrungi anak-anak muda, kemudian mereka berlomba-lomba berkhayal dengan imaji paling liar dan muskil, di manakah hubungan kegiatan fantasi itu dengan kehidupan sehari-hari? Di mana cerita anak-anak yang meniti jembatan rusak demi bersekolah? Di manakah fantasi, ketika ada seorang anak kecil dihukum lima bulan penjara lantaran dituduh mencuri sendal Pak Polisi?

Agaknya dunia fantasi mesti berakar pada masalah-masalah keseharian orang-orang biasa. Jika tidak, apa fungsi fantasi bagi kemanusiaan? []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar